Alexander Moza. Hampir seluruh penduduk di kota ini mengenalku. Banyak pula yang berteman baik denganku. Bukan karena ketampanan, kekuatan, atau kekayaanku. Aku hanyalah seorang anak laki-laki biasa yang mulai menginjak dewasa yang dibesarkan tanpa kedua orangtua.
Jika kalian menanyakan tentangku pada penduduk di kota ini, mungkin kalian akan mendapat cerita tentang seorang anak cerdas miskin yang putus sekolah. Atau tentang seorang yatim piatu yang tinggal di gubuk reot di tepi hutan bersama neneknya. Mungkin juga tentang si gila buku yang juga kuli di pasar ikan. Aku menerimanya. Karena, ya, itulah aku.
Kedua orangtuaku meninggal dalam sebuah kecelakaan kereta ketika aku masih bayi. Dan sekarang, aku tinggal bersama nenekku yang sudah sangat tua. Kehidupan kami pas-pasan, jika tidak ingin dibilang kekurangan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, aku bekerja pada tengkulak di pasar ikan dari pagi hingga menjelang siang. Lalu, sorenya, aku mencari buah-buahan di hutan untuk dibuat selai dan manisan oleh nenekku.
Selai dan manisan itu kujual pada seorang teman yang memiliki toko permen. Dan di toko permen itulah aku mengenal seorang pelukis terkenal yang nyentrik dan memiliki jenggot merah yang mencuat kemana-mana. Namanya Allan Mc Gregor, aku memanggilnya Allan. Dan aku berteman baik dengannya hingga sekarang.
Sebenarnya, dari dulu aku aku memiliki keinginan besar untuk melanjutkan sekolah yang terhenti karena alasan klasik, biaya. Aku terpaksa memilih bekerja karena keadaan. Tapi, aku tetap belajar. Dengan caraku sendiri. Dengan membaca dan bertanya. Dengan memiliki teman-teman yang mengajariku segalanya.
Namun, aku enggan membahasnya, karena persoalan ini seolah-olah menyudutkanku. Sekolah bagi anak miskin sepertiku hanyalah mimpi. Kadang, rasanya dunia memang tidak adil.
***
Suatu sore, aku menyempatkan diri untuk mampir ke rumah Allan. Ketika aku masuk, Allan sedang menyelesaikan sebuah lukisan besar tentang seorang pengemis. Modelnya adalah seorang pengemis tua, berdiri di panggung yang berada di sudut ruangan. Dia orang tua yang bungkuk dan keriput dengan wajah yang memelas. Dia memakai baju cokelat dari kain yang buruk, robek-robek, dan kotor. Sepatunya juga bertambalan. Dia bersandar pada sebuah tongkat yang kasar. Sebelah tanganya mengulurkan topi untuk meminta sedekah uang.
“O, model yang sangat bagus,” bisikku ketika berjabat tangan dengan Allan.
“Ya, model yang bagus,” sahut Allan. “ Aku juga berpendapat begitu. Kamu pasti tidak mau bertemu dengan pengemis seperti dia setiap hari”
***
“ Hai, Allan. Lukisanmu sudah selesai?” kataku sambil berjabat tangan dengan Allan, seminggu setelah terakhir kali aku mengunjunginya.
“ Sudah selesai dan sudah dibingkai, Nak,” jawab Allan. “ Dan kamu pasti senang jika kukatakan bahwa model lukisanku sangat menyukaimu. Aku sudah menceritakan semua tentangmu, siapa kamu, dimana kamu tinggal, apa pekerjaanmu, dan apa keinginan terbesarmu”
“ Oh, Allan!” teriakku kaget. “ Pasti dia sekarang di rumahku dan menanti sedekahku. Tapi, kamu hanya bercanda, kan? Aku hanya ingin melakukan sesuatu untuknya. Aku sangat kasihan melihat orang yang sangat menderita seperti dia. Aku punya setumpuk pakaian bekas di rumah. Apa menurutmu dia membutuhkannya?”
“ Tapi dia justru sangat mengagumkan dalam keadaan seperti itu,” kata Allan. “ Aku takkan mau melukisnya jika dia mengenakan pakaian yang bagus. Tapi, akan aku sampaikan tawaranmu berupa pakaian bekas. Dan sekarang, ceritakan kepadaku, apakah kamu masih berniat melanjutkan sekolah? Modelku juga tertarik tentang hal itu”
“ Kamu juga menceritakan tentang hal itu kepadanya?” teriakku mulai kehilangan kesabaran.
“ Ya. Dia tahu mengenai nenekmu yang tua, kuli ikan, dan sekolah.”
“ Kamu ceritakan kepada pengemis itu semua masalah pribadiku?” aku marah. Kurasa wajahku mulai memanas.
Tapi Allan tenang-tenang saja. Bahkan, sambil tersenyum ia berkata, “ Nak, pengemis tua itu, bukan pengemis tua yang sebenarnya. Dia orang terkaya di Eropa. Kalau mau, dia mampu membeli kota London tanpa kehilangan banyak uang. Dia punya rumah mewah di setiap kota besar. Dia selalu makan dengan piring mas. Dia bisa mencegah niat Rusia untuk berperang dengan suatu negara kalau dia mau.”
“ Kamu jangan mengada-ada, Allan,” kataku kebingungan
“ Aku berkata yang sesungguhnya,” kata Allan sambil tersenyum. “ Lelaki tua yang menjadi modelku itu adalah Baron Hausberg. Dia sahabat karibku yang selalu membeli lukisan-lukisanku. Sebulan yang lalu dia memintaku untuk melukis dirinya sebagai pengemis. Karena upah yang ditawarkannya cukup tinggi, aku tidak bisa menolaknya. Dan harus kuakui, dia telah menjadi modelku yang bagus sekali.”
“ Baron Hausberg!” teriakku kaget. Aku teringat apa yang kuberikan padanya seminggu yang lalu. “ Astaga! Aku telah memberinya sekeping uang emas!'
“ Memberinya sekeping uang emas?!” teriak Allan, diikuti ledakan tawanya.
“ Seharusnya kau mengatakan kepadaku saat itu,” kataku, “ Sehingga aku tidak perlu melakukan ketololan seperti itu.”
“ Pada mulanya,” kata Allan “ Aku tidak berpikir bahwa kamu sedang berjalan-jalan untuk menyedekahkan uangmu. Dan ketika kamu masuk, aku ragu-ragu, apakah Hausberg suka jika namanya kukatakan padamu.”
“ Pasti dia berpikir, betapa bodohnya aku,” kataku
“ Sama sekali tidak. Dia merasa gembira setelah kamu pergi. Dia terus tertawa-tawa. Saat itu, aku tidak tahu, kenapa dia begitu tertarik kepadamu. Baru sekarang aku tahu semuanya,” Allan tertawa. “ Tapi, Moza, dia akan menginvestasikan uang emasmu itu ke perusahaanya, dan dia akan membayar bunganya untukmu setiap bulan. Dia juga merasa telah mendapat cerita menarik untuk diceritakan kepada teman-temannya setelah makan malam.”
Aku pulang dengan perasaan bahagia. Aku tertawa keras ketika berpisah dengan Allan.
Esok paginya, ketika sedang makan pagi, ada seseorang mengetuk pintu rumahku. Nenekku membukakan pintu dan mendatangiku lalu berkata, “ Ada seorang utusan mencarimu”
“ Itu pasti utusan Baron Hausberg. Pasti dia datang untuk suatu permohonan maaf,” pikirku. Seorang lelaki tua yang tampan,berambut abu-abu dan berkacamata emas duduk di kursi reyot di ruang tamu. Dengan aksen Perancis ia berkata, “ Bolehkah saya berbicara dengan Tuan Alexander Moza?”
Aku membungkukkan diri.
“ Saya dari keluarga Baron Hausberg,” lanjut lelaki itu. “ Keluarga Baron...”
“ Saya mohon, Tuan, Anda bersedia menyampaikan permohonan maaf saya yang tulus,” kataku.
“Keluarga Baron,” kata lelaki itu dengan tersenyum, “ Meminta saya untuk menyampaikan surat ini kepada anda,” kemudian lelaki itu mengulurkan sebuah amplop yang tertutup.
Di bagian luar amplop itu ada tulisan, “ Sebuah hadiah kecil untuk Alexander Moza dari seorang pengemis tua” di dalam amplop itu ternyata ada selembar cek senilai sepuluh ribu pounds.
Ketika aku lulus dari universitas dengan gelar summa cum laude, Allan Mc Gregor dan keluarga Baron datang. Bahkan Baron Hausberg memberikan sambutan.
~end~
*ini cerpen yang aku buat untuk tugas bahasa indonesianya Pak SW. gimana..? comment, yahh.. :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar